Bioremediasi adalah pemulihan lahan atau lingkungan tercemar dengan menggunakan mikroorganisme, dalam hal ini bakteria (lihat: bioremediasi.blogspot.com).
Dalam Kepmen LH 128/2003 I.3.Istilah - istilah. Bagian 3 Bioremidiasi adalah proses pengolahan limbah minyak bumi yang sudah lama atautumpahan/ceceran minyak pada lahan terkontaminasi dengan memanfaatkan mahluk hidup mikroorganisme, tumbuhan atau organisme lain untuk mengurangi konsentrasi atau menghilangkan daya racun bahan pencemar. Dengan demikian, penggunaan jamur (fungi) merupakan salah satu alternatif mikroorganisme pengolah (degrader). Teknologi bioremediasi dengan menggunakan jamur sebagai mikroorganisme pendegradasi disebut MIKOREMEDIASI.
MIKOREMEDIASI berasal dari kata Mycoremediation (Myco - Remediation) dengan Myco berarti jamur atau fungi. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Paul Stamets seorang peneliti bidang jamur dari Universitas Arizona (http://www.fungi.com/about-paul-stamets.html).
Jamur vs Bakteri
Mengapa penggunaan jamur dalam bioremediasi dikembangkan? Jamur mempunyai mekanisme degradasi yang berbeda dengan bakteri. Bakteri menguraikan senyawa organik polutan dengan cara meng-uptake senyawa tersebut kedalam selnya (misalnya dengan proses diffusi dinding sel) dan memanfaatkan enzim intraseluler (enzim yang berada di dalam sel). Dengan mekanisme ini, diffusi senyawa polutan kedalam dinding sel dibatasi oleh ukuran molekul senyawa polutan, ukuran dinding sel, dan toksisitas dari senyawa akan mengganggu atau bahkan mematikan bakteri. Pada sistem jamur, enzim pendegrasi disekresi (dikeluarkan) oleh jamur dari miselianya, atau disebut enzim ekstra seluler. Dengan demikian, proses biodegradasi terjadi diluar sel jamur, atau miselianya. Dengan mekanisme ini dapat mengatasi permasalahan ukuran molekul senyawa polutan dan toksisitas senyawa polutan terhadap mikroorganisme pendegradasi.
Jamur Pendegradasi
Jamur yang sampai saat ini banyak digunakan dalam bioremediasi adalah jamur pelapuk putih (white rot fungi). Studi tentang white rot fungi dan aplikasinya telah dilakukan banyak peneliti di dunia dan di Indonesia. Di Institut Teknologi Bandung kita mengenal nama Dr. I Nyoman P Aryantha dan saya sendiri. Isolat lokal yang pernah digunakan untuk aplikasi biopile adalah Marasmius sp. (http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=16644054#editor/target=post;postID=115146663010686094)
Thursday, June 22, 2006
APAKAH BIOREMEDIASI
Bioremediasi berasal dari kata bio dan remediasi atau "remediate" yang artinya menyelesaikan masalah. Secara umum bioremediasi dimaksudkan sebagai penggunaan mikroba untuk menyelesaikan masalah-masalah lingkungan atau untuk menghilangkan senyawa yang tidak diinginkan dari tanah, lumpur, air tanah atau air permukaan sehingga lingkungan tersebut kembali bersih dan alamiah.
Mikroba yang hidup di tanah dan di air tanah dapat “memakan” bahan kimia berbahaya tertentu, terutama organik, misalnya berbagai jenis minyak bumi. Mikroba mengubah bahan kimia ini menjadi air dan gas yang tidak berbahaya misalnya CO2. Bakteri yang secara spesifik menggunakan karbon dari hidrokarbon minyak bumi sebagai sumber makanannya disebut sebagai bakteri petrofilik. Bakteri inilah yang memegang peranan penting dalam bioremediasi lingkungan yang tercemar limbah minyak bumi.
Bagaimana bioremediasi dilakukan?
Faktor utama agar mikroba dapat membersihkan bahan kimia berbahaya dari lingkungan, yaitu adanya mikroba yang sesuai dan tersedia kondisi lingkungan yang ideal tempat tumbuh mikroba seperti suhu, pH, nutrient dan jumlah oksigen.
Aplikasi bioremediasi di Indonesia mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 (KepMen LH no. 128/2003) mengatur tentang tatacara dan persyaratan teknis pengolahan limbah dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis. Disini dicantumkan bahwa bioremediasi dilakukan dengan menggunakan mikroba lokal. Pada umumnya, di daerah yang tercemar jumlah mikroba yang ada tidak mencukupi untuk terjadinya bioproses secara alamiah. Dalam teknologi bioremediasi dikenal dua cara menstimulasi pertumbuhan mikroba, yaitu dengan biostimulai dan bioaugmentasi.
Biostimulasi ádalah memperbanyak dan mempercepat pertumbuhan mikroba yang sudah ada di dalam tanah tercemar dengan cara memberikan lingkungan pertumbuhan yang diperlukan, yaitu penambahan nutrient (misalnya sumber Nitrogen dan Phospor) dan oksigen. Jika jumlah mikroba yang ada sangat sedikit, maka harus ditambahkan mikroba untuk mencapai jumlah mikroba rata-rata 10^3 cfu/gram* tanah sehingga bioproses dapat dimulai. Mikroba yang ditambahkan adalah mikroba yang sebelumnya diisolasi dari lahan tercemar kemudian setelah melalui proses penyesuaian di laboratorium diperbanyak dan kembalikan ke tempat asalnya untuk memulai bioproses. Penambahan mikroba dengan cara ini disebut sebagai bioaugmentasi.
Kondisi lingkungan yang memadai akan membantu mikroba tumbuh, berkembang dan “memakan” polutan tersebut (atau memanfaatkan Carbon dari polutans sebagai sumber energi untuk pertumbuhan). Sebaliknya jika kondisi yang dibutuhkan tidak terpenuhi, mikroba akan tumbuh dengan lambat atau mati. Secara umum kondisi yang diperlukan ini tidak dapat ditemukan di area yang tercemar. Dengan demikian, perencanaan teknis (engineering design) yang benar memegang peranan penting untuk mendapatkan proses bioremediasi yang efektif.
Dalam aplikasi teknik bioremediasi dikenal dua teknik yang sangat umum diterapkan yaitu biopile dan landfarming. Pada teknik biopile, tanah tercemar ditimbun diatas lapisan kedap air dan suplai udara yang diperlukan oleh mikroba dilakukan dengan memasang perpipaan untuk aerasi (pemberian udara) dibawah tumpukan tanah tercemar. Pompa udara dipasang diujung perpipaan sehingga semua bagian tanah yang mengandung mikroba dan polutan berkontak dengan udara. Dengan teknik ini, ketinggian tanah timbunan adalah 1 sampai 1,5 meter. Teknik landfarming dilakukan dengan menghamparkan tanah tercemar diatas lapisan kedap air. Ketebalan hamparan tanah 30 – 50 cm memungkinkan kontak mikroba dengan udara. Untuk menjamin bahwa semua bagian dari tanah yang diolah terkontak dengan udara maka secara berkala hamparan tanah tersebut di balikkan. Nama landfarming digunakan karena proses pembalikan tanah yang dilakukan sama dengan pembalikan tanah pada saat persiapan lahan untuk pertanian.Apakah bioremediasi aman untuk digunakanBioremediasi sangat aman untuk digunakan karena menggunakan mikroba yang secara alamiah sudah ada dilingkungan (tanah). Mikroba ini adalah mikroba yang tidak berbahaya bagi lingkungan atau masyarakat. Bioremediasi juga dikatakan aman karena tidak menggunakan/ menambahkan bahan kimia dalam prosesnya. Nutrien yang digunakan untuk membantu pertumbuhan mikroba adalah pupuk yang digunakan dalam kegiatan pertanian dan perkebunan. Karena bioremediasi mengubah bahan kimia berbahaya menjadi air (H2O) dan gas tidak berbahaya (CO2), maka senyawa berbahaya dihilangkan seluruhnya.
Teknologi bioremediasi banyak digunakan pada pencemaran di tanah karena beberapa keuntungan menggunakan proses alamiah / bioproses. Tanah atau air tanah yang tercemar dapat dipulihkan ditempat tanpa harus mengganggu aktifitas setempat karena tidak dilakukan proses pengangkatan polutan. Teknik ini disebut sebagai pengolahan in-situ. Teknik bioremediasi yang diterapkan di Indonesia adalah teknik ex-situ yaitu proses pengolahan dilakukan ditempat yang direncanakan dan tanah tercemar / polutan diangkat ke tempat pengolahan.
Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pengolahan tergantung pada faktor jenis dan jumlah senyawa polutan yang akan diolah, ukuran dan kedalaman area yang tercemar, jenis tanah dan kondisi setempat dan teknik yang digunakan. Jenis minyak mentah ringan (light crude sesuai nomor API ) yang diolah dengan teknik biopile bioaugmetnasi dan konsentrasi pengolahan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Kepmen LH 128/2003 yaitu max 15% memerlukan waktu 4 - 6 bulan. Sedangkan minyak mentah berat (heavy crude) akan memerlukan waktu dari 1 tahun atau lebih. Kondisi ini bervariasi dari satu area tercemar dengan area lainnya, sehingga waktu yang diperlukan dalam rentang 4 bulan sampai 1 tahun.
Kondisi akhir (end point) untuk menyatakan bahwa proses bioremediasi berhasil dan selesai adalah konsentrasi total hidrokarbon minyak bumi (TPH) 1%. Kepmen LH 128/2003 untuk saat ini baru menggunakan parameter TPH saja karena kegiatan yang menerapkan teknologi bioremediasi masih terbatas pada industri migas.
Biaya yang diperlukan untuk melakukan bioremediasi berada pada rentang US $25 – 75 per ton tanah olahan, tergantung pada kondisi pencemaran. Harga ini masih lebih murah dibandingkan dengan menggunakan teknik pengolahan lainnya misalnya insinerasi yang bisa mencapai 4 sampai 10 kali lipatnya.
Bioremediasi sebagai teknologi yang dapat digunakan untuk membersihkan berbagai jenis polutan bukan berarti tanpa keterbatasan. Bioremediasi tidak dapat diaplikasikan untuk semua jenis polutan, misalnya untuk pencemaran dengan konsentrasi polutan yang sangat tinggi sehingga toksik untuk mikroba atau untuk pencemar jenis logam berat misal kadmium dan Pb. Dimasa yang akan datang, penerapan teknologi bioremediasi di Indonesia akan berkembang tidak hanya terbatas pada pemulihan lahan tercemar minyak bumi di industri migas, tetapi juga pencemaran di industri otomotif, SPBU dan industri lainnya seperti pertanian. Dengan demikian, polutan targetnya bukan hidrokarbon minyak bumi saja tetapi juga senyawa inorganik lainnya seperti pestisida.
Pendekatan molekular misalnya identifikasi mikroba dengan 16sRNA atau 18sRNA untuk mengetahui keberlimpaphan mikroba dalam proses bioremediasi dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja bioproses. Teknologi molekular ini sudah tersedia dan dibandingkan dengan teknik identifikasi konvesional yang saat ini umum digunakan di Indonesia memberikan waktu pemeriksaan lebih cepat. Namun demikian, penggunaan teknik molekular ini masih mahal dan belum perlu sebagai prioritas.
Sri Harjati Suhardi
Peneliti dan Praktisi Bioremediasi
Pusat Ilmu Hayati ITBwww.indo-biotech.com
Mikroba yang hidup di tanah dan di air tanah dapat “memakan” bahan kimia berbahaya tertentu, terutama organik, misalnya berbagai jenis minyak bumi. Mikroba mengubah bahan kimia ini menjadi air dan gas yang tidak berbahaya misalnya CO2. Bakteri yang secara spesifik menggunakan karbon dari hidrokarbon minyak bumi sebagai sumber makanannya disebut sebagai bakteri petrofilik. Bakteri inilah yang memegang peranan penting dalam bioremediasi lingkungan yang tercemar limbah minyak bumi.
Bagaimana bioremediasi dilakukan?
Faktor utama agar mikroba dapat membersihkan bahan kimia berbahaya dari lingkungan, yaitu adanya mikroba yang sesuai dan tersedia kondisi lingkungan yang ideal tempat tumbuh mikroba seperti suhu, pH, nutrient dan jumlah oksigen.
Aplikasi bioremediasi di Indonesia mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 (KepMen LH no. 128/2003) mengatur tentang tatacara dan persyaratan teknis pengolahan limbah dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis. Disini dicantumkan bahwa bioremediasi dilakukan dengan menggunakan mikroba lokal. Pada umumnya, di daerah yang tercemar jumlah mikroba yang ada tidak mencukupi untuk terjadinya bioproses secara alamiah. Dalam teknologi bioremediasi dikenal dua cara menstimulasi pertumbuhan mikroba, yaitu dengan biostimulai dan bioaugmentasi.
Biostimulasi ádalah memperbanyak dan mempercepat pertumbuhan mikroba yang sudah ada di dalam tanah tercemar dengan cara memberikan lingkungan pertumbuhan yang diperlukan, yaitu penambahan nutrient (misalnya sumber Nitrogen dan Phospor) dan oksigen. Jika jumlah mikroba yang ada sangat sedikit, maka harus ditambahkan mikroba untuk mencapai jumlah mikroba rata-rata 10^3 cfu/gram* tanah sehingga bioproses dapat dimulai. Mikroba yang ditambahkan adalah mikroba yang sebelumnya diisolasi dari lahan tercemar kemudian setelah melalui proses penyesuaian di laboratorium diperbanyak dan kembalikan ke tempat asalnya untuk memulai bioproses. Penambahan mikroba dengan cara ini disebut sebagai bioaugmentasi.
Kondisi lingkungan yang memadai akan membantu mikroba tumbuh, berkembang dan “memakan” polutan tersebut (atau memanfaatkan Carbon dari polutans sebagai sumber energi untuk pertumbuhan). Sebaliknya jika kondisi yang dibutuhkan tidak terpenuhi, mikroba akan tumbuh dengan lambat atau mati. Secara umum kondisi yang diperlukan ini tidak dapat ditemukan di area yang tercemar. Dengan demikian, perencanaan teknis (engineering design) yang benar memegang peranan penting untuk mendapatkan proses bioremediasi yang efektif.
Dalam aplikasi teknik bioremediasi dikenal dua teknik yang sangat umum diterapkan yaitu biopile dan landfarming. Pada teknik biopile, tanah tercemar ditimbun diatas lapisan kedap air dan suplai udara yang diperlukan oleh mikroba dilakukan dengan memasang perpipaan untuk aerasi (pemberian udara) dibawah tumpukan tanah tercemar. Pompa udara dipasang diujung perpipaan sehingga semua bagian tanah yang mengandung mikroba dan polutan berkontak dengan udara. Dengan teknik ini, ketinggian tanah timbunan adalah 1 sampai 1,5 meter. Teknik landfarming dilakukan dengan menghamparkan tanah tercemar diatas lapisan kedap air. Ketebalan hamparan tanah 30 – 50 cm memungkinkan kontak mikroba dengan udara. Untuk menjamin bahwa semua bagian dari tanah yang diolah terkontak dengan udara maka secara berkala hamparan tanah tersebut di balikkan. Nama landfarming digunakan karena proses pembalikan tanah yang dilakukan sama dengan pembalikan tanah pada saat persiapan lahan untuk pertanian.Apakah bioremediasi aman untuk digunakanBioremediasi sangat aman untuk digunakan karena menggunakan mikroba yang secara alamiah sudah ada dilingkungan (tanah). Mikroba ini adalah mikroba yang tidak berbahaya bagi lingkungan atau masyarakat. Bioremediasi juga dikatakan aman karena tidak menggunakan/ menambahkan bahan kimia dalam prosesnya. Nutrien yang digunakan untuk membantu pertumbuhan mikroba adalah pupuk yang digunakan dalam kegiatan pertanian dan perkebunan. Karena bioremediasi mengubah bahan kimia berbahaya menjadi air (H2O) dan gas tidak berbahaya (CO2), maka senyawa berbahaya dihilangkan seluruhnya.
Teknologi bioremediasi banyak digunakan pada pencemaran di tanah karena beberapa keuntungan menggunakan proses alamiah / bioproses. Tanah atau air tanah yang tercemar dapat dipulihkan ditempat tanpa harus mengganggu aktifitas setempat karena tidak dilakukan proses pengangkatan polutan. Teknik ini disebut sebagai pengolahan in-situ. Teknik bioremediasi yang diterapkan di Indonesia adalah teknik ex-situ yaitu proses pengolahan dilakukan ditempat yang direncanakan dan tanah tercemar / polutan diangkat ke tempat pengolahan.
Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pengolahan tergantung pada faktor jenis dan jumlah senyawa polutan yang akan diolah, ukuran dan kedalaman area yang tercemar, jenis tanah dan kondisi setempat dan teknik yang digunakan. Jenis minyak mentah ringan (light crude sesuai nomor API ) yang diolah dengan teknik biopile bioaugmetnasi dan konsentrasi pengolahan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Kepmen LH 128/2003 yaitu max 15% memerlukan waktu 4 - 6 bulan. Sedangkan minyak mentah berat (heavy crude) akan memerlukan waktu dari 1 tahun atau lebih. Kondisi ini bervariasi dari satu area tercemar dengan area lainnya, sehingga waktu yang diperlukan dalam rentang 4 bulan sampai 1 tahun.
Kondisi akhir (end point) untuk menyatakan bahwa proses bioremediasi berhasil dan selesai adalah konsentrasi total hidrokarbon minyak bumi (TPH) 1%. Kepmen LH 128/2003 untuk saat ini baru menggunakan parameter TPH saja karena kegiatan yang menerapkan teknologi bioremediasi masih terbatas pada industri migas.
Biaya yang diperlukan untuk melakukan bioremediasi berada pada rentang US $25 – 75 per ton tanah olahan, tergantung pada kondisi pencemaran. Harga ini masih lebih murah dibandingkan dengan menggunakan teknik pengolahan lainnya misalnya insinerasi yang bisa mencapai 4 sampai 10 kali lipatnya.
Bioremediasi sebagai teknologi yang dapat digunakan untuk membersihkan berbagai jenis polutan bukan berarti tanpa keterbatasan. Bioremediasi tidak dapat diaplikasikan untuk semua jenis polutan, misalnya untuk pencemaran dengan konsentrasi polutan yang sangat tinggi sehingga toksik untuk mikroba atau untuk pencemar jenis logam berat misal kadmium dan Pb. Dimasa yang akan datang, penerapan teknologi bioremediasi di Indonesia akan berkembang tidak hanya terbatas pada pemulihan lahan tercemar minyak bumi di industri migas, tetapi juga pencemaran di industri otomotif, SPBU dan industri lainnya seperti pertanian. Dengan demikian, polutan targetnya bukan hidrokarbon minyak bumi saja tetapi juga senyawa inorganik lainnya seperti pestisida.
Pendekatan molekular misalnya identifikasi mikroba dengan 16sRNA atau 18sRNA untuk mengetahui keberlimpaphan mikroba dalam proses bioremediasi dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja bioproses. Teknologi molekular ini sudah tersedia dan dibandingkan dengan teknik identifikasi konvesional yang saat ini umum digunakan di Indonesia memberikan waktu pemeriksaan lebih cepat. Namun demikian, penggunaan teknik molekular ini masih mahal dan belum perlu sebagai prioritas.
Sri Harjati Suhardi
Peneliti dan Praktisi Bioremediasi
Pusat Ilmu Hayati ITBwww.indo-biotech.com
Subscribe to:
Posts (Atom)